Opennavigation menu. Close suggestions Search Search. en Change Language 2017Dongeng ini juga menjelaskan asal mula yang ajaib dari Candi Sewu Candi Prambanan Keraton Ratu Baka dan arca Dewi Durga yang ditemukan di. Kumpulan cerita bahasa jawa. Cerita Asal Usul Candi Prambanan Pada jaman dahulu kala di Pulau Jawa terutama di daerah Prambanan berdiri 2 buah kerajaan Hindu yaitu Kerajaan Pengging dan Kraton Boko. Boyolali apabila kita jadikan bahasa Jawa Krama, mestinya menjadi "bajulkesupen" atau "boyosupe" dan bukan "boyowangsul" atau "bwangsul". Geriecke en Roorda, selanjutnya menjelaskan, dalam bahasa Jawa terdapat kata: wali dapat berubah menjadi bali atau mali, artinya wangsul atau bangsul. Maleni = mbaleni = mangsuli. Fast Money. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. sumber Alkisah, Sunan Katong dari Demak melakukan perjalanan ke Tanah Perdikan Prawoto. Beliau diutus oleh Wali Songo untuk menyadarkan Empu Pakuwaja yang merupakan murid dari Syeh Siti Jenar. Dalam perjalanannya beliau ditemani oleh tiga santrinya yaitu Wali Jaka, Ki Tekuk Penjalin, dan Kyai Gembyang. Sesampainya di tempat tujuan, beliau mendirikan sebuah Padhepokan di tepian Kali Sarean. Beliau adalah sosok ulama yang berilmu tinggi, berbudi luhur dan disegani. Tak perlu waktu lama bagi beliau untuk mendapatkan banyak santri. Berbondong-bondong orang datang ke padhepokan untuk belajar ilmu agama. *** Empu Pakuwaja adalah seorang bangsawan trah Majapahit. Dia seorang yang gagah berani, berwatak keras dan teguh pendirian. Dia mempunyai 2 orang putri yang bernama Surati dan Raminten. Padhepokannya berada di daerah Getas. Dia juga mempunyai murid kesayangan, yaitu Jaka Tuwuk dan Pilang. Ketika Sunan Katong menemuinya dan berusaha mengajaknya kembali ke dalam ajaran Islam yang sejati, Empu Pakuwaja menolak. Dia justru menantang Sunan Katong untuk bertanding adu kekuatan. Sunan Katong meladeni tantangan Empu Pakuwaja. Maka bertandinglah kedua orang tersebut. Mereka mengeluarkan ilmu olah bathin. Akhirnya Sunan Katong berhasil melukai Empu Pakuwaja. Dalam keadaan terluka Empu Pakuwaja berlari dan mencoba bersembunyi dari kejaran Sunan Katong. Dalam pelariannya Empu Pakuwaja merasa haus yang teramat. Ketika sampai di depan sebuah rumah, Empu Pakuwaja segera memasukinya. Rumah itu sepi ditinggal penghuninya ke sawah. Empu Pakuwaja memasuki rumah tersebut. Di atas meja dia melihat sebuah kendi berisi air nira yang akan dimasak menjadi gula. Karena rasa haus yang tak tertahan, diapun segera meminum air tersebut dan menghabiskannya. Karena kekenyangan minum air tersebut, akhirnya Empu Pakuwaja tertidur. Tak lama kemudian dia terbangun karena mendengar suara pertengkaran dua orang yang ternyata adalah suami istri yangmempunyai rumah itu. Mereka adalah Pak Singo dan Mbok Singo yang bertengkar karena air nira yang akan dibuat menjadi gula habis. Mereka tidak tahu bahwa Empu Pakuwajalah yang telah menghabiskan air tersebut. Karena merasa terganggu dengan keributan tersebut, tanpa banyak bicara Empu Pakuwaja membunuh kedua suami istri tersebut. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Singopadu padu = bertengkar. Sunan Katong terus mengejar di belakang Empu Pakuwaja. Ketika dia merasa Sunan Katong berada tak jauh darinya, maka Empu Pakuwaja bersembunyi di sebuah pohon Kendal yang berlubang. Ternyata Sunan Katong mengetahui tempat persembunyian Empu Pakuwaja tersebut. Akhirnya Sunan Katong berhasil menangkap Empu Pakuwaja. Empu Pakuwaja kemudian menyerah dan mengakui kesaktian dan ketinggian ilmu Sunan Katong. Diapun bersedia menjadi pengikut Sunan Katong, bahkan dia menjadi murid kesayangan. Tempat menyerahnya Empu Pakuwaja itu di kemudian hari dinamakan Kendal. Selain nama pohon, Kendal juga berarti penerang, Sunan Katong berhasil memberikan penerangan kepada Empu Pakuwaja dan membawanya kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya. *** Pada suatu hari, Empu Pakuwaja marah kepada putrinya, Raminten. Raminten mencintai Jaka Tuwuk, padahal Empu Pakuwaja sudah menjodohkan Jaka Tuwuk pada Surati. Ternyata Jaka Tuwuk juga mencintai Raminten, mereka saling mencintai. Empu Pakuwaja yang mengetahui hal tersebut sangat marah. Lalu dia mencari Raminten dengan maksud menghajarnya. Raminten yang paham akan watak keras ayahnya, segera melarikan diri. Dia mencari perlindungan, dan dia merasa orang yang bisa melindunginya hanyalah Sunan Katong. Karenanya diapun menghadap Sunan Katong dan meminta bantuan. Empu Pakuwaja yang gelap mata dan mengejar Raminten sangat marah mendengar ada orang yang melindungi putrinya. Diapun menghunus Keris Pusakanya dan segera menghujamkan ke dada orang yang melindungi putrinya. Ketika keris sudah menancap, Empu Pakuwaja baru menyadari bahwa orang yang ditusuknya adalah gurunya sendiri. Empu Pakuwaja jatuh tersungkur dan meminta maaf bersujud di hadapan sang guru. Sunan Katong mencabut keris dari dadanya dan menancapkan keris tersebut kepada Empu Pakuwaja. Keduanya gugur sampyuh. Dari luka Sunan Katong mengalir darah berwarna biru, sedangkan dari luka Empu Pakuwaja mengalir darah berwarna merah. Kedua aliran darah itu menyatu di Kali Sarean, membuat warna air sungai berubah menjadi ungu. Demikianlah, daerah di mana kedua tokoh itu gugur sampyuh dan darahnya menyatu kemudian dikenal dengan nama “KALIWUNGU” sungai yang airnya berwarna ungu. Kota kaliwungu kini terkenal sebagai kota santri. Para santrinya berasal dari daerah Kaliwungu dan sekitarnya. Makam Sunan Katong dan Empu Pakuwaja yang berada di bukit Astana Kuntul Melayang selalu ramai dikunjungi peziarah ketika perayaan Syawalan. Penulis Dwi Ilyas 145 Lihat Puisi Selengkapnya silfiana rahma Sejarah Monday, 05 Jun 2023, 1254 WIB Suku Jawa merupakan salah satu suku di Indonesia yang berasal dari Pulau Jawa yang memiliki ciri khas bahasa serta kebudayaan yang tentunya sangat berbeda dengan kebudayaan suku lain di Indonesia. Suku Jawa merupakan suku bangsa tersebesar di Indonesia, pada tahun 2010 sekitar 41% penduduk Indonesia merupakan suku Jawa. Ada beberapa teori tentang asal usul suku Jawa di Indonesia. Menurut beberapa arkeolog, suku Jawa sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu. Tentunya semua itu berdasarkan penemuannya yaitu fosil Pithecantropus Erectus dan beberapa fosil Homo Sapiens yang berhasil di temukan di beberapa tempat di Pulau Jawa seperti di Mojokerto, Sangiran, maupun wilayah Jawa lainnya. Membicarakan tentang asal usul suatu suku tentunya tidak luput dari pendapat para sejarawan yang menyatakan bahwa asal usul suku Jawa berasal dari Yunan, China yang pada waktu itu melakukan penjelajahan ke berbagai wilayah di Indonesia tentunya di Pulau Jawa sendiri dimana Pulau Jawa merupakan Pulau yang tidak pernah luput dari proses penjelajahan bangsa luar. Selain kedua pendapat tadi, juga telah ditemukan asal usul suku Jawa yang berasal dari Babad Jawa Kuno yang mengatakan bahwa nenek moyang suku Jawa berasal darinya seorang pangeran dari Kerajaan Kling yang kalah dalam proses perebutan kekuasaan dimaana pangeran tersebut akhirnya membangun Kerajaan sendiri bersama para pengikutnya, yang nantinya Kerajaan tersebut dinamai Kerajaan Javaceckwara. Sebuah surat kuno yang ditemukan dari keraton Malang yang menyebutkan tentang keberadaan Raja dari kesultanan Turki yaitu Raja Rum sekitar abad ke 450 SM yang berkelana ke berbagai penjuru pulau. Raja tersebut sampai pada pulau yang sangat subur dan nantinya Raja tersebut dikatakan sebagai asal usul dari suku Jawa. Suku jawa tidak hanya ada di pulau jawa tetapi juga ada di beberapa pulau di Indonesia. Beberapa penduduk suku Jawa ada yang melakukan migrasi besar besaran ke daerah Sumatera, hal tersebut dilakukan karena adanya pembukaan perkebunan secara besar besaran yang dilakukan pada waktu pendudukan Belanda di Indonesia. Pada masa pendudukan Belanda, beberapa penduduk suku Jawa juga di pindahkan di negara Suriname, Amerika Selatan. Sampai saat ini budaya suku jawa di Suriname masih sangat kental, bahkan bahasa yang di gunakan ialah ciri khas bahasa Jawa sehingga sampai saat ini suku jawa tersebut di namai Jawa Suriname. Suku Jawa juga terpecah menjadi beberapa kelompok kecil yang bisa di katakan sebagai sub-suku Jawa seperti halnya Suku Tengger, Suku Osing, Samin, dan suku bangsa terbesar di Indonesia, suku Jawa memiliki karakteristik yang mudah dikenali oleh masyarakat, mulai dari dialeg, bahasa, garis keturunan, filosofi hidup, dan sikapnya yang dikenal sopan dan santun. Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan sebagai bahasa sehari hari oleh masyarakat suku Jawa. Bahasa Jawa juga dikenal memiliki beberapa perbedaan yang di dasarkan pada hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Sehingga timbulah bahasa jawa krama alus, krama inggil, ngoko alus, ngoko inggil. Aspek kebahasaan ini didasari adanya status sosial di masyarakat yang berpengaruh kuat dalam aspek budaya aspek bahasa ada juga aspek kekerabatan yang memperhitungkan keturunan baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Karakteristik yang sering di jadikan pandangan suku lain terhadap suku Jawa adalah sifat masyarakat nya yang ramah, luwes, sederhana dan berpegang erat pada budaya leluhurnya. Sesuai dengan filosofi masyarakat jawa yaitu Narimo Ing Pandum menerima sesuai bagiannya dan memayu hayuning bawana mempercantik keindahan dunia.Membicarakan soal suku tentunya tidak jauh dari kata budaya. Budaya suku Jawa sendiri dapat kita golongkan menjadi 3 garis besar yaitu budaya Jawa Tengah DIY, budaya Banyumasan, dan budaya Jawa kini, masyarakat suku Jawa masih melestarikan tradisi para leluhurnya. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma- norma yang berlaku hingga kini. Oleh karena itu masyarakat suku Jawa sangat menghargai proses keberlangsungan kehidupan dengan melakukan tradisi nenek moyang atau yang biasa kita sebut upacara-upacara tradisional yang mengandung pesan baik moral, filosofi, spiritual, bahkan banyaknya hikmah yang di dapat dari upacara tersebut. Berbagai rangkaian acara yang di lakukan masyarakat suku Jawa disebut dengan Upacara Daur Hidup. Berikut adalah beberapa contoh Upacara Daur Hidup dalam masyarakat Jawa, yaitu Upacara Masa KehamilanUpacara ini sangat di istimewakan oleh beberapa masyarakat Jawa. Apalagi kalau upacara ini dilakukan pada saat kehamilan pertama. Contonya ialah upacara mengandung tujuh bulan atau di sebut juga dengan Mitoni. Mitoni yang berasal dari kata pitu yang berarti tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada saat usia kehamilan menginjak tujuh KekahUpacar kekah adalah upacara menebus jiwa anak sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Upacara ini biasanya dilaksanakan saat sang anak berusia 7 hari, 14 hari, atau 21 hari. Upacara ini sebenarnya berhubungan erat dengan Aqiqah. Untuk pelaksaan dan syarat-syaratnya memang sama dengan Aqiqah, yaitu menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan menyembelih satu ekor kambing untuk anak Tedhak SitenUpacara Tedhak Siten dilaksanakan pada saat anak berumur tujuh lapan, hitungan tujuh lapan sendiri dari 7 x 35 hari. Upacara ini bertujuan untuk menjadikan anak lebih mandiri dengan memperkenalkan anak untuk pertama kalinya pada tanah atau dunia luar. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah dengan beberapa ritual seperti, anak dimandikan dengan air kembang, anak dibimbing berjalan menginjak tanah kemudian di injakkan pada makanan yang terbuat dari beras ketan yang sudah direndam dengan air kemudian ditumbuk sehingga padat atau biasa disebut jadah, ritual ketiga yaitu anak dinaikkan ke tangga yang terbuat dari tebu wulung, anak dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah berisi padi, gelang, alat tulis, kapan, mainan dan lain-lain. Upacara KhitananKhitan di Indonesia dikenal dengan sunat. Proses sunat sendiri dinamakan sunatan, dimana memotong sedikir daging yang berada di atas klitoris. Upacara khitanan ini sebenarnya merupakan hasil akulturasi dengan masyarakat pelestarian kebudayaan dalam masyarakat suku Jawa tentunya tidak terlepas dari kata kesenian, salah satunya ialah seni tari tradisional. Tari tradisional suku Jawa yang maasih berkembang hingga sekarang ialah Tari Remo Jawa Timur berkembang beragam bentuk Tari Remo, seperti di Jombang sendiri berkembang Tari Remo Jombangan, di Malang berkembangan Tari Remo Malangan, serta di Surabaya berkembang Tari Remo Munalifatah. Secara umum Tari Remo memiliki motif transisi dengan gerakan iket. Gerakan ini di setiap daerah juga memiliki ciri khas masing- masing, seperti di Jombang sendiri gerak iket dispesifikasikan pada pola gerak kaki sadhukan sampur sedangkan di Surabaya lebih mengpsesifikan pada gerakan Perkawinan tahap ini merupakan prosesi yang dilaksanakan sebelum akad nikah. Prosesi yang masih dilakukan pada tahap ini adalah prosesi siraman. Tetapi ada juga ritual yang masih di jalankan seperti nontoni, nembung, nglamar, dan midodareni. b. ini dilakukan dengan cara akad nikah. Proses ini merupakan proses inti dan terpenting dalam pernikahan. Proses ini disaksikan oleh sesepuh atau orang tua dari kedua calon mempelai. Proses ini diwujudkan dalam bentuk ijab qobul. ini merupakan rangkaian penutup dari upacara pernikahan. Ritual ini dilaksanakan dengan pembagian jenang sumsuman dan ngunduh manten. Jenang sumsum adalah makanan yang terbuat dari tepung beras, yang dimasak menyerupai bubur yang disajikan dengan kuah gula jawa. Ritual ngunduh manten sendiri ialah ritual dimana pihak keluarga perempuan menyerahkan mempelai perempuan kepada keluarga mempelai laki-laki. Gerakan kaki dalam Tari Remo Munalifatah seperti menyepak, menapak maju- mundur, mengangkat kaki, memutar, dan menghentakkan kaki atau yang biasa di sebut tidak hanya tercemin dari gerak iket, tetapi juga tercermin pada udeheng atau ikat kepala yang dikenakan si penari. Pola segitiga ini ada karena persilangan kain yang ada di dahi yang mengarah ke atas, menyimbolkan tentang kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa. Trineta dalam konteks teknis yaitu berbentuk segitiga, yang terwujud karena adanya tiga titik yang menunjukkan konsep kesatuan yang dapat dijadikan sebagai tema Remo Boletan sampai kini masih menjadi tarian penghormatan dan tarian selamat datang kepada para tamu agung. Untuk melestarikan tarian ini khususnya di Kabupaten Jombang, Bupati Jombang Ibu Munjidah Wahab pada 11 Oktober 2022, mengajak seluruh lapisan masyarakat di Jombang untuk melakukan pelestarian budaya dengan cara menari remo bersama sama. Pelestarian budaya yang di lakukan oleh masyarakat Jombang ini berhasil memecahkan rekor muri dengan berjumlah penari. Event ini diadakan dalam memperingati hari jadi Pemerintah Kabupaten Jombang yang ke-112. Adanya event Pagelaran Tari Remo Boletan di Jombang ini diharapkan bisa memupuk masyarakat agar lebih cinta terhadap budayanya serta bisa menjadi ajang pelestarian budaya di diri masyarakat pada tari remo pada dasarnya merupakan penggambaran dari semangat juang masyarakat Jawa Timur itu sendiri. Kata "Remo" sendiri berasal dari kata rekmo yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti rambut. Tetapi jika di maknai dalam tata bahasa jawa arti "Remo" yang mendapat imbuhan "ng" menjadi Ngremo yang berarti seseorang yang sedang melakukan aktivitas remo. Tari Remo memilili banyak makna, tarian ini sering dikait-kaitkan dengan kata "ludruk" seperti badut atau pelawak dikarenakan banyaknya percakapan atau gerakan yang lucu dan bersifat sindiran Remo dipersepsikan memuat konsep trinetra atau sering disebut pola segitiga. Pola segitiga trineta ini terwujud dari langkah kaki yang memiliki tiga titik tumpuan, yang diibaratkan sebagai tiga mata. Satu mata yang tidak terlihat terletak di atas hidung diantara kedua mata. Mata tersebut dimaksudkan untuk melihat hal-hal yang tidak tampak oleh kedua mata. Ada juga yang mengatakan bahwa trinetra sebenarnya sebagai simbol interaksi manusia dengan Tuhan serta pada tari remo menceritakan tentang perjuangan seorang pangeran yang sedang berperang dengan gagah berani. Gerakan itu ditunjukkan sikap tubuh tegap dengan dada yang membusung untuk memberi kesan berwibawa. Selain itu, Gerakan kakinya rancak dan dinamis bisa kita lihat dan dengar dari bunyi lonceng yang dipasang di pergelangan kaki. Bunyi lonceng pada kaki penari Remo disesuaikan dengan iringan tari. Karakteristik lain dari gerak Tari Remo ialah gerakan sampur yang biasa disebut gerak sampur ayah ibu, gerakan kepala dengan menoleh secara cepat sehingga terkesan tegas, gerakan kuda kuda dengan dada membusung serta tangan yang sedikit di lentangkan, dan ekspresi wajah yang tegas dari si lantai pada Tari Remo sebenarnya sangat sederhana yaitu pola lantai lurus. Meskipun memakai pola lantainya terlihat sangat sederhana namun menimbulkan kesan kuat. Tetapi pada era sekarang, pola lantai pada Tari Remo beragam tetapi tetap dalam beberapa iringan pola lantai lurus tetap digunakan. Properti yang dikenakan oleh para penari Remo ketika melakukan pertunjukan meliputi, pakaian berwarna merah, hijau, berpadu dengan warna hitam dan kuning, riasan yang lebih menonjol pada bagian mata, aksesoris seperti sampur, hiasan kepala, serta lonceng. Untuk pemakaian busana penari Remo biasa mengadopsi dari busana prajurit gaya Jawa Timuran. Dengan mengenakan baju atasan lengan panjang, rompi, celana sebatas betis, kain batik, sampur, dan penutup penari Remo di setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing, seperti busana bergaya Jombangan, Malangan, Surabayaan, dan busana penari Remo perempuan akan sedikit dibedakan yaitu adanya mekak di bagian dada penari, adanya rapak dibagian pinggul hingga lutut, dan sampur berwarna hijau atau merah yang di kalungkan di bagian leger si penari. Sementara untuk aksesoris lainnya yaitu gelang lonceng yang nantinya akan di pasangkan di bagian pergelangan kaki penari. Riasan yang di gunakan oleh penari Remo ialah riasan tebal bergaya gagah dengan riasan alis dan Remo disajikan dengan iringan tari yang berupa suara gamelan yang dipadukan dengan suara lonceng yang di pasangkan di kaki si penari. Jenis irama yang sering dimainkan untuk mengiringi tari Remo ialah gending jula-juli atau tropongan. Beberapa filosofi dari gerakan tari Remo ialah Gerakan gendrung atau gerakan menghentakan kaki memiliki makna yaitu kesadaran manusia atas seluruh aktivitas yang ia jalankan di muka gendewa memiliki arti bahwa setiap gerakan manusia yang cepat menyerupai busur yang melepaskan anak tepisan yang mengandalkan kecepatan dan kecekatan tangan ketika menggesekkan kedua telapak tangan yang memiliki makna penyatuan kekuatan yang ada di dalam diri Ngore Remo yaitu gerakan seperti merias diri, gerakan ini biasanya berupa menata bagian tubuh terutama di bagian untuk tarian selamat datang terkadang, Tari Remo dibawakan pada saat pesta pernikahan, khitanan, serta acara-acara penting pemerintahan kota Jombang. Tari Remo sering dibawakan pada permulaan sebuah acara baik acara pemerintahan, wayang kulit, wayang topeng, dan pertunjukan-pertunjukan rakyat zaman pendudukan Belanda, Tari Remo digunakan sebagai media memata matai pihak musuh. Gerakan yang di bawakan si penari memiliki arti seperti contoh gerakan tangan seperti menghentikan sesuatu, gerakan ini berarti memberikam isyarat kepada sekutu untuk berhenti. Mungkin karena kebiasaan ini, para penari Remo dalam pembawaan nya harus tegas dan tatapannya tajam pada beberapa arah. Pada zaman ini juga, Tari Remo digunakan untuk menyemangati para pejuang menggunakan sentilan-sentilan yang dibungkus dengan berkembangnya zaman, tarian tradisional kini banyak ditinggalkan oleh masyarakat. Beberapa faktor yang menyebabkan tarian tradisional ini di tinggalkan ialah karena adanya tarian-tarian modern. Pada era digitalisasi ini para remaja cenderung lebih mengenal tarian-tarian modern atau modern tersebut tentunya sangat miris sekali, mengingat generasi muda yang cenderung lupa akan kebudayaan yang telah di wariskan oleh para leluhurnya. Modern dance mengalami perkembangan yang pesat di Indonesia karena tarian tersebut tidak mengharuskan seorang penari untuk memakai pakaian-pakaian yang rumit serta gerakan-gerakan yang pakem seperti tarian tradisional. Sumber ReferensiSetyaningrum, Puspasari. 2022. “Mengenal Suku Jawa, Dari Asal Usul Hingga Tradisi”, jawa-dari-asal-usul-hingga-tradisi, diakses pada 27 Agustus 2022 pukul 2022. “11 Tari Tradisional Khas Jawa Tengah”, jawa-tengah, diakses pada 11 Maret 2022 pukul Romadlon 2019. Naskah Publikasi Tritunggal. Tugas akhir. Tidak Seni Pertunjukan. Institut Seni Indonesia & Jawa, 1030081_Chapter1, Bab 1, suku sukujawa jawa kebudayaan Disclaimer Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku UU Pers, UU ITE, dan KUHP. Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel. Berita Terkait Terpopuler di Sejarah Solo - Kendal selama ini dikenal sebagai salah satu Kota Santri di Jawa Tengah. Menurut situs sebutan Kota Santri itu melekat karena banyak pondok pesantren di Kendal. Namun, dilihat dari data BPS 2020-2021, Kendal bukanlah daerah dengan jumlah ponpes terbanyak di jurnal 'Keberadaan Ajaran Bathara Katong di Kaliwungu Kendal' Sutasoma, 3 Desember 2018, sebutan Kota Santri itu lebih tepatnya disematkan pada Kaliwungu. Kaliwungu merupakan salah satu kecamatan di jurnal karya Fella Sufa Nimasnuning Nur Uyun peneliti asal Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang itu disebutkan Kaliwungu ialah kota kecil di Kendal yang dikenal dengan sebutan kota santri. Penghargaan Kaliwungu sebagai kota santri tidak lepas dari peran penting leluhur Kaliwungu seperti Bathara Katong atau Sunan Katong atau Sunan dari jurnal itu yang diakses detikJateng pada Rabu 16/11/2022, Bathara Katong dikenal sebagai leluhur Kaliwungu asal Ponorogo. Dia disebut-sebut sebagai putra Prabu Kaliwungu, Bathara Katong lebih dikenal dengan nama Sunan Katong. Sedangkan di daerah Kendal kota, Bathara Katong lebih dikenal dengan nama Sunan ke Kaliwungu, Bathara Katong datang ke daerah Kendal kota tepatnya di Ampel Kulon dan memiliki padepokan bernama menyebarkan agama Islam di Kendal, kemudian dia ke Kaliwungu saat itu belum dinamakan Kaliwungu dan memilih pegunungan cerita tutur masyarakat Kaliwungu dalam buku 'Wali-Wali Mataram Kendal Sunan Katong dan Pakuwaja' yang ditulis oleh Rochani, perkelahian antara Sunan Katong dan Pakuwaja menjadi penyebab lahirnya nama Katong/Sunan Katong/Sunan Ampel memiliki dua bentuk ajaran. Pertama, ajaran tradisi lisan yang berupa selawat macan putih dan wejangan Bathara Katong. Kedua, ajaran tradisi bukan lisan yang berupa blantenan dan khaul."Dahulu masyarakat Kaliwungu menjalankan ajaran Bathara Katong tersebut secara rutin sehingga pada akhirnya Kaliwungu mendapat penghargaan sebagai kota santri. Keberadaan Ajaran-ajaran Bathara Katong di Kaliwungu masih ada yang tetap dilestarikan," Sutasoma, 2018 60.Secara umum ajaran Bathara Katong bertujuan untuk menyiarkan agama Islam, mengajarkan tentang bagaimana hidup selaras vertikal horizontal. Simak Video "Tiba di Candi Borobudur, Biksu Thudong Terharu" [GambasVideo 20detik] dil/rih

asal usul kaliwungu dalam bahasa jawa